Dalam
setiap pergantian era atau narasi kehidupan manusia selalu menimbulkan dan
ditandai dengan kontroversi. Era postmodernisme siap mengambil alih pemegang
tampuk peradaban manusia selanjutnya. Postmodernisme dikecam; dicap keranjang
sampah; dilabeli sebagai gerakan antimetode; pemikiran sempalan dan sebagainya.
Istilah postmodernisme pertama kali diapung oleh Frederico di Onis pada 1930-an
dalam karyanya Antologia de la Poesia
Espanola a Hispanoamericana. Menurutnya, fase postmodernisme ditandai
dengan gejolak, perang, revolusi yang menimbulkan anarki, runtuhnya
rasionalitas dan pencerahan.
Postmodernisme
merupakan gerakan kontemporer. Oleh sebab itu, postmodernisme yang dianggap
antitesis modernisme bukan saja proyeksi culture
studies tetapi juga keniscayaan yang selalu mengelilingi dunia kita. Dari
sudut istilah postmodernisme mengandung masalah. Ia menyimpan ambiguitas dan
ketidakjelasan sosok. Singkat kata postmodernisme merupakan segala bentuk
refleksi kritis atas segala paradigma-paradigma modern dan metafisika pada
umumnya.
Secara
sederhana ajaran pokok postmodernisme terdiri dari 5 yaitu:
·
Pertama, menolak universalitas. Menurut
kaum postmodernisme tidak ada konsep yang bisa dipakai untuk semua umat
manusia.
·
Kedua, menolak ideology. Bagi kaum postmodernisme
ideology yg ada, seperti liberalisme, kapitalisme, dan ideology agama adalah
palsu dan menyimpan kepentingan, khususnya kekuasaan.
·
Ketiga, menolak obyektivikasi. Bagi kaum
postmodernisme menolak satu alat ukuran kebenaran bernama objektivikasi.
·
Keempat, mengkritik semua jenis sumber
pengetahuan. Prinsip kepastian dan sebab akibat, misalnya diingkari dengan
dalih bersifat relaif.
·
Kelima, menolak metodologi yang tetap
dan pasti. Bagi kaum postmeodernisme, berbagai metodologi dan perangkat
berfikir yg tersedia hanyalah salah satu bukan kepastian dan keharusan
mengikuti metodologi yg ada.
Karakteristik
mpostmodernisme mengutip Lyotard, Ahmed, mengatakan ciri-ciri postmodernisme
adalah memiliki keraguan terhadap metanaratif. Cara yang paling sederhana mengenal
postmodernisme adalah mengetahui ciri-cirinya. Sementara itu, dalam tataran
praktis, Burhan Bungin mengidentifikasi beberapa ciri masyarakat
postmodernisme.Ia menyebutkan lima ciri yaitu Pertama, memiliki pola hidup
nomaden. Kedua, secara struktur mereka berada pada titik nadir. Ketiga, lebih
suka menghargai privasi sehingga memunculkan sikap aneh-aneh dan unik. Keempat,
kehidupan yang bebas membuat masyarakat postmodernisme menjadi sekuler dan
liberal. Kelima, pemahaman yang bebas pula menyebabkan mereka cenderung
mengadakan gerakan back to nature, back to village,back to religi, dan
sebagainya.
Tokoh
Ø Jean
Francois Lyotard (10 Agustus 1924 - 21 April 1998). Lyotard dianggap sebagai
pentolan postmodernisme nomor wahid. Inti gagasan Lyotard adalah runtuhnya
narasi-narasi besar yang selama ini diusung kaum modernisme.
Ø Jacques
Derrida (15 Juli 1930 - 9 Oktober 2004). Gagasan pokok Derrida adalah
dekonstruksi. Dekonstruksi adalah sebuah istilah yang digunakan untuk
menerangkan lembaran baru dalam filsafat, strategi intelektual, atau model
pemahaman
Ø Michael
Foucault (15 Oktober 1926 - 25 Juni 1984). Gagasan dasar Foucault adalah
tentang hubungan pengetahuan dan kekuasaan. Baginya, kekuasaan dan pengetahuan
ibarat dua sisi mata uang yang sama (two sides of the same coin).
Ø Jean
Baudrillard (27 Juli 1929 - 6 Maret 2007). Jean Baudrillard mengkaji dalam
dimensi postmodernisme yang nyata, yaitu kebudayaan.
2. Cultural
Studies
Cultural studies pertama kali muncul di
Birmingham, Inggris melalui Birmingham Centre for Contemporary Cultural Studies
sekitar 1950an. Perintisnya adalah Richard Hoggart dan Raymond Williams. Namun,
cultural studies menemukan kejayaannya di tangan Stuart Hall. Sebagai
perbandingan tentang sejarah kelahiran culture studies lain dari Richard
West-Lynn H. Turner.
Salah satu pemicu munculnya cultural
studies adalah kegagalan teori Karl Marx. Kegagalan tersebut akibat ketiadaan
revolusi disebabkan kelas pekerja kooptasi oleh media yang secara efektif
mendukung sistem kapitalisme. Bagi cultural studies, media sebenarnya memiliki
potensi untuk meningkatkan kesadaran penduduk tentang isu-isu kelas, kekuasaan,
dan dominasi. Media dianggap sebagai arena pertarungan dari berbagai kelas yang
ada, baik kelas dominan maupun subordinat.
Cultural studies merupakan kritik atas
definisi budaya yang mengarah pada “the complex everyday world we all ecounter
and through which all move. Dua batasan yang dapat memberikan penjelasan
tentang konsep ini. Pertama, adalah ide umum di mana masyarakat atau kelompok memahami
ideologinya, atau cara-cara kolektif yang digunakan suatu kelompok untuk
memahami pengalamannya. Kedua,budaya dimengerti sebagai praktik-praktik atau
keseluruhan cara hidup suatu kelompok apa yang dilakukan individu secara
material dari hari ke hari. Dalam cultural studies, proses pemahaman realitas
ini ditimbulkan oleh banyak sumber ini dinamakan sebagai artikulasi.
Semua asumsi dasar dalam kajian budaya
diwarnai oleh pemikiran marxis. Ada dua pengaruh penting dari marxisme terhadap
kajian budaya yang pertama, untuk memahami makna kebudayaan. Kedua, kajian
budaya mengasumsikan bahwa masyarakat industri kapitalis merupakan masyarakat
yang terbagi-bagi secara tidak adil dikalangan etnik, gender, generasi, dan
kelas.
Ciri utama cultural studies adalah menempatkan
teori kritis sebagai basis analisis. Pengertian teori kritis disini mencangkup
metode metadisplin (semiotika, filologi, hermenitika) dan post-discplinary
(mengabaikan ilmu alat ketika analisa dirasakan telah mencapai upaya membangun
teori baru) Kajian cultural studies berfokus pada pesan actual atau wacana
komunikasi.
Tokoh Kunci Claude Shannon, Norbert Wiener, Harold
D. Lasswell, Kurt Lewin, Carl Hovland, dan Paul F. Lazarsfeld sebagai perintis.
Ada juga Wilbur Schramm yang menginstitusionalkan ilmu komunikasi. Karena
hampir semua tokoh berasal dari Amerika, lumrah bila ilmu komunikasi pada
awalnya pragmatis-positivistik. Salah
seorang tokoh yang gencar mengkritik asumsi-asumsi dasar tersebut adalah Hall.
Pada titik ini, Hall bukan berperan sebagai perintis atau pelembaga sebuah
ilmu, ia berperan sebagai “pembongkar” ilmu.Birmingham centre memperlakukan
media sbg fenomena yg mendasar ideologis dan peeka terhadap konteks cultural.
Interaksi antara audients, pesan media, komunikator, dan budaya sangatlah
kompleks dan hanya bisa didekati dgn metode etnografi yang melalui
interpretasi, interview kualitatif, dan observasi.
BAB III
Kemunculan Jurnalisme Baru
A. Jurnalisme
dan Citizen Journalism
Kemajuan
teknologi komunikasi dan informasi memberikan kemajuan dalam salah satu aspek
kehidupan manusia, khususnya dalam berbagi informasi sesama anak manusia.
Melalui internet, kini, semua orang bisa menjadi wartawan. Profesi ‘agung’ yang
selama ini milik mereka yang mencari berita untuk kepentingan media populer dengan
istilah citizen journalism. Citizen
journalism merupakan gagasan yang ditemukan Jay Rosen, Pew Research dan
Poynter Institute. J.D. Lasica, memaparkan jurnalisme warga ke dalam lima tipe.
Yaitu, situs web berita atau informasi independen, situs berita partisipatoris
murni, situs media kolaboratif, bentuk lain dari media tipis dan situs
penyiaran pribadi.
Menurut
burn (news blogs and citizen journalism) laporan warga memiliki tiga kelebihan
dibandingkan dengan berita media massa tradisonal. Yaitu, laporan warga adalah
yang pernah melaporkan tentang kejadian perkara (TKP). Kedua, tulisan warga
tentang suatu peristiwa yang dipublikasikan menjadi bacaan alternatif bagi
masyarakat. Ketiga, jurnalisme warga bisa diakses 24 jam sehari dan tujuh hari
satu minggu. Oleh sebab itu, semakin banyak jurnalisme warga kian baik
perkembangan informasi yang diperoleh masyarakat.
Sekali
lagi komunikator pada komunikasi massa (yang bernama institusi media
tradisional) tidak mau kehilangan kapital, pengaruh, dan penghasilan dalam
mentransfer pesan komunikasi. Dengan kekuatan finansial, nama besar, dan
organisasi professional, mereka dengan cerdas menyediakan ruang dan sarana bagi
masyarakat untuk berbagi informasi sbg tanddingan dari jurnalisme warga. Maka
munculah kompasina (milik kompas), citizen journalism republika(Republika),
blogtempo(tempo), forumdetik (detik.com). dan sebagainya.
B. Jurnalisme
dan Ideologi
Ideologi
memiliki karakteristik yakni adanya keyakinan, gagasan, kelompok tertentu,
pandangan menyeluruh, polotik dan bersifat publik. Karena itulah ideologi kerap
disandarkan dengan kekuasaan dan budaya politik tertentu.
Untuk
negeri ini, ideologi Pancasila dan ideologi pembangunan digunakan rezim Orde
Baru untuk melanggengkan kekuasaan. Selama 32 tahun ideologi Pancasila menjadi
tameng untuk melawan kelompok yang tidak setuju dengan sistem dan kebijakan
Soeharto. Ideologi memiliki dua sisi, dalam perspektif teoritis, ideologi
sangat idealnormatif. Namaun pada sisi praktis (historis-sosiologis) ideologi
menyimpan wajah seram dan kejam. Dalam ideologi terdapat tiga aspek yaiyu,
kepercayaan, proyeksi sosial dan relasi sosial. Ekspresi dari proyeksi sosial
bagi bagi pekerja di dunia jurnalistik salah satunya adalah tulisan (teks
berita). Dengan demikian, setiap teks berita mengandung ideologi penulis dan
editornya. Tulisan inilah yang membangun dalam relasi sosial antara pekerja di
media dengan masyarakat.
Kemunculan
media massa yang berbasis internet kian mempertajam efek media, di satu sisi,
dan memperkuat kontrol masyarakat terhadap kekuasaan. Meski akurasi informasi
pada media akses masih perlu diuji, tetapi dalam ranah kecepatan penyebaran
informasi, internet adalah nomor wahid. Kehadiran
internet di telepon selular, misalnya, kian mempertegas dominasi kecepatan
informasi melalui internet. Selain kecepatan berita, internet juga
menumbuhsuburkan jejaring sosial (facebook,
twitter, dan grup-grup yang berlandaskan hobi, profesi dan kesamaan nasib).
C. Jurnalisme
dan Konvergensi Media
Konvergensi
adalah perubahan teknologi, industri, budaya, dan sosial dalam lingkaran media
termasuk didalamnya budaya kita. Beberapa gagasan mendasar dari konvergensi
antara lain konten media mengalir ke beberapa platform media yang berbeda.
Konvergensi media mengacu pada sebuah situasi dimana berbagai sistem media
hidup berdampingan dan isi media yang mengalir melintasi batas.
Selain
sebagai media akses, internet juga kerap disandingkan sebagai konvergensi media
dan media internal. Kini, hampir semua media cetak dan elektronik membarengi
dengan bentuk media online. Dengan kata lain, internet yang semula diprediksi
menjadi hantu penghancur media cetak, kini justru menjadi dewa penyelamat.
Berarti digitalisasi media cetak adalah salah satu bentuk konvergensi media.
Model
jurnalistik interpretatif ini banyak dikembangkan dimedia cetak, surat kabar,
khususnya. Strategi interpretasi ini merupakan cara untuk berbeda dengan berita
online yang terlebih dahulu hadir. Artinya, beritanya sama tetapi
interpretasinya berbeda.
Model
jurnalistik interpretative sudah tidak menggunakan pola piramida terbalik dalam
menyajikan berita dan konstruksi 6W + 1H (What, Who, Why, Where, When, What
Next dan (How). Makanya polanya bukan 6W +1H, tetapi matriks 6W +1H (Dijelaskan
dalam sub-bab jurnalisme dan pencarian core meaning).
D. Jurnalisme
dan Krisis Berita
Yang
tersisa dari berita dalam era internet adalah medan yang sudah dikuasai dengan
baik dan pertempuran menangguk untung dan kompetisi isi berita yang akan terus
berlangsung pada masa mendatang. Justru, kabar terbaru dunia akan terus-menerus
datang dari media sosial seperti Fb, Twitter; jejaring terbuka yang memudahkan
warga berbagi informasi secara langsung, luas, dan dalam paket yang mudah
diakses.
Konektifitas
global akan menghadirkan kontributor baru dalam rantai pasokan. Ada subkategori
yang muncul, yaitu jejraing pakar enkripsi teknis daerah, yang hanya mengurusi
kunci enkripsi. Perannya dlam jurnaslisme tak terkait konten atau sumber tetapi
menyediakan mekanisme kerahasiaan yang penting diantara berbagai pihak.
E. Jurnalisme
dan Media Baru
Jurnalisme
menjadi pilar keempat demokrasi pada abad ke-18 dan 19 ia menjadi bagian tak
terpisah dari kemuncul suatu system social dan politik yg lebih demokratis di
eropa dan amerika utara. Sementara itu. Jurnalisme cetak mulai hidup sbg sebuah
bisnis, bisnis menjual berita setelah ia berubah menjadi wahana, ideology,
opini dan politik. Menurut Jurgen
Habermas (1989) dalam Transformasi Struktual Ruang Publik, terjadi berbagai
pergeseran sejarah dalam jurnalisme: perdagangan berita yang dikembangkan dari
sistem korespondensi pribadi dan untuk penerbit lama. Kemudian ia dikumpulkan
dan diorganisir bernama berita untuk keuntungan sederhana.
Perkembangan
jurnalistik selanjutnya adalah ia sebagai perusahaan komersial yang berkembang
sekitar pertengahan abad ke-19 di Eropa
Barat. Ini dipicu oleh munculnya kebebasan sebagai salah satu hak konstitusional
dan kemunculan iklan menjanjikan pengembalian investasi, pada sisi yang
lainnya. Akibat dari pola ini menurut Habermas, pers menjadi kurang partisan
dan memungkinkan untuk berkonsentrasi pada peluang bisnis. Habermas sambil
mengutip Blicher melanjutkan, dalam keadaan ini kertas merupakan karakter suatu
perusahaan yang menghasilkan ruang iklan sebagai komoditas yang dibuat berharga
melalui bagian editorial.
Krisis Jurnalistik
Menurut Tood Gitlin
(2009), meskipun dalam konteks tahap saat jurnalisme, ia berpendapat dalam
kondisi seperti ini istilah ‘krisis’ yang sangat tepat. Gitlin menunjukkan
kondisi krisis jurnalisme ini dengan mengidentifikasi 5 indikator Yaitu:
* Jatuhnya
sirkulasi.
* Jatuhnya
pendapatan advertising.
* Difusi
perhatian.
* Krisis
yang berwenang.
*
Ketidakmampuan atau keengganan jurnalisme mempertanyakan struktur
kekuasaan semua berkontribusi untuk membawa krisis yang mendalam jurnalisme.
Waktu dan Jurnalisme
Castells (2000)
membahas tentang cara dimana media baru mengubah konsepsi tentang waktu. Ia
mengembangkan gagasan waktu abadi, sebagai cirri dari masyarakat jaringan.
Waktu adalah abadi justru karena tidak bisa lagi dibagi, diukur, dan terkotak
kedalam slot tertentu. Dalam masyarakat jaringan, waktu sedang berlangsung,
terus menerus sebagai ritme adalah 24/7.
Internet Dan Jurnalisme
Disisi lain, teori ini
mengatakan internet adalah solusi untuk krisis ini. Jo bardoel (2002)
menggangap internet akan mengarah pada pengembangan jenis baru jurnalisme,
jurnalisme online, yg akan membuat penggunaan efektif atribut utama internet,
yg menyebabkan pembaharuan jurnalisme. Interaktifitas, multimodality,
hyperlink, dan sifat asynchronous berita dan informasi online,menawarkan
kemungkinan baru bagi jurnalisme. Atribut ini memungkinkan jurnalisme untuk
memperpanjang dalam ruang, dalam kedalaman dan luasnya melalui hyperlink dan
hypertext
F. Jurnalisme dan Pencarian Core Mining
Komunikasi
mengenal 2 madzhab, Yakni aliran penyampaian pesan (madzhab transmisi) dan
aliran pertukaran makna (madzhab semiotika). Ungkapan Harold Laswell who, says
what, in which channel, to whom, with what effect (siapa mengatakan apa melalui
saluran kepada siapa dengan efek apa) adalah yang menandaskan tentang aliran
perpindahan pesan ini.
Kalau
dalam komunikasi madzhab transmisi elemen pokoknya adalah komunikator, pesan
dan komunikan. Sedangkan dalam madzhab semiotika yang menjadi elemen dasarnya
adalah author (pengarang), teks budaya, dan reader (pembaca).
Langkah
yg disebutkan dibawah ini merupakan reformasi dari model jurnalisme yg hanya
berada pada madzhab penyampaian pesan. Dgn demikian berita yg dikontruksi model
dibawah ini sekedar tranformasi pesan, tetapi menyangkut pada pertukaran makna
antara, khususnya wartawan dan khayalak.
Ada pun langkah yg harus ditempuh untuk menghasilkan
makna antara lain.
1) Wartawan
(reporter, kameramen, editor, redaktur, produser) harus mengerti isu yg ingir.
2) Setelah
memahami masalah dan isu langkah selanjutnya adalah membuat lead (kepala
berita) atau intro artikel yang dan memikat dan bisa jadi pengantar untuk
pembaca supaya tertarik membaca lebih lanjut.
3) Buatlah
skala, harus mengukur atau menghitung apakah hal tsb pertama kalinya terjadi
dalam 10 tahun atau 100 tahun terakhir.
4) Perluas
cerita, yakni dengan memberikan contoh-contoh yg lebih luas atau atau kejadian
yg seperti itu.
5) Berilah
kutipan yang menarik.
6) Berikan
latar belakang dan nama awal masalah atau perkembangan selanjutnya
7) Berilah
kutipan singkat dengan menerangkan sisi ilmiah
8) Pastikan
antar paragraph tidak saling menegasikan dan meninggalkan harus ada
kesinambungan
9) Posisikan
kita sbg pembaca jangan sbg pembuat berita dan jujur.
10)
Angka tidak menunjukan apa-apa
11)
Down to earth dan tidak bersentuhan
dengan pembaca.
12)
Pastikan ada core meaning (makna inti)
yg akan menghasilkan public meaning (makna untuk publik) yg ingin disampaikan
di sebuah berita.
13) Cover all (multi) sides, bukan cover
bath sides
14) Baca lagi tulisan yang sudah rampung dan
selesai.
F. Jurnalisme
dan Pertukaran Makna
Berita
adalah tulisan, tayangan, atau siaran tentang fakta dari satu peristiwa atau
kejadian yang dimuat atau disiarkan oleh media massa dengan menggunakan
konstruksi 5W +1H ( What, Why, Who, Where, dan When serta How). Makna terjadi
karena ada tanda. Ada tiga jenis makna dalam sebuah proses komunikasi Yaitu,
makna si penutur, makna bagi si pendengar, dan makna tanda (sign meaning) yang
melekat pada tanda itu sendiri.
Proses
5W+1H kini berkembang menjadi 6W+1H dengan penambahan W keenam what next.
Prinsip ini berkembang seiring dgn maraknya media online yg mengejar kecepatan
penayangan/pemuatan sebuah peristiwa. Meski demikian, what next sesungguhnya
tidak terlalu prinsipil terutama untuk media cetak yg seharusnya sudah memiliki
tidak mengejar kecepatan, tetapi kedalaman dan deskripsi fakta.
G. Jurnalisme
Interpretatif
Seperti
dikemukakan dalam beberapa tulisan sebelumnya, kehadiran internet sebagai
pemicu munculnya situs berita (jurnalistik online) telah menggeser model
pemberitaan dimedia cetak, khususnya surat kabar. Semua peristiwa actual yg sebelumnya
digarap surat kabar, kini menjadi konsumsi media online. Bahkan jurnalistik
online pun harus berebut berita dengan media social seperti twitter untuk
menyajikan berita paling actual, bahkan masih dlam penggorengan.
Seperti
dikemukakan dalam beberapa tulisan sebelumnya, kehadiran internet sebagai
pemicu munculnya situs berita (jurnalistik online) telah menggeser model
pemberitaan di media cetak, khususnya surat kabar. Dibawah ini disajikan contoh
model jurnalisme interpretatif dalam kasus dugaan suap yang melibatkan Ketua
SKK Migas Rudi Rubiandini. Ia menjadi headline empat koran, Rabu 14 Agustus
2013. Keempat koran nasional tersebut adalah Koran Tempo, Koran Sindo, Kompas,
dan Media Indonesia.
H. Jurnalisme,
Agama, dan Pertanggungjawaban
Agama
memiliki dua peran mulia, privat dan publik. Dibutuhkan garis pemisah yang
tegas dari dua wilayah tersebut. Pemisahan ini menjadikan Negara tidak salah
peran. Dimensi kenyakinan dan ritual yang sangat subjektif adalah mutlak milik
pribadi. Sedangkan dimensi moralitas, interaksi sosial, dan pengembangan
masyarakat masuk diwiilayah publik. Padahal, agama adalah problem solver
masalah-masalah kemanusiaan.
Kebangkitan
agama di wilayah publik menurut Peter Berger (1999) sebagai desekularisasi
dunia atau deprivatisasi agama. Agama publik kata Jose Casanova lebih memberi
nilai positif bagi pengembangan
masyarakat daripada agama sebagai urusan privat yang kering makna dan tuna
akselerasi moral.
Pertanggungjawaban
Adalah
duambahnya jurnalistik, Bill Kovach dan Tom Rosentiels, yang mendeklarasikan
elemen utama jurnalisme adalah pada pencarian kebenaran. Ironisnya kebenaran
adalah sesuatu yang abstrak dan sulit untuk didefinisikan, bahkan cenderung
kontroversial. Makanya untuk menghindari multitafsir tentang kebenaran yang disodorkan,
Kovach dan Rosentiels, menambahkan elemen kedua jurnalistik adalah loyalitas
utama jurnalisme adalah pada warga Negara.
Untuk
menghindari ketidakjelasan dua elemen diatas, Kovach dan Rosentiels menambahkan
elemen ketiga yang lebih konkret, yaitu disiplin dalam melakukan verivikasi
fakta. Ada lima item indikator dalam verifikasi fakta, Yaitu: wartawan jangan
menambah atau mengarang apa pun, jangan menipu atau menyesatkan pembaca,
pemirsa, maupun pendengar, bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang
metode dan motivasi, bersandarlah terutama pada
reportase sendiri, dan bersikaplah rendah hati. Tiga elemen yang
dikemukakan diatas merupakan bagian dari Sembilan elemen yang dikemukakan
Kovach dan Rosentiels.
Pers Pancasila
Menurut pencetus teori pers pancasila, Anwar Arifin,
teori ini memiliki beberapa cirri khas.
1.
Bersandar dan memiliki falsafah dasar sebagaimana Negara kita,
pancasila.
2.
Pancasila adalah jembatan di antara semua teori pers.
3.
Perbedaan pada persoalan pertanggungjawaban.
Pancasila dengan tiga karakteristik yg sudah
dikemukakan di atas. Penulis optimis dengan jika pekerja pers indonesia
memegang teguh prinsip-prinsip dasar teori pers indonesi, otomatis Sembilan
elemen jurnalistik yang dikemukakan kovach telah dilakukan.
Komentar
Posting Komentar