Keruntuhan Jurnalisme

NAMA  : FADHILLAH AZZAHRA

NIM       : 1571502929

KELAS  : YJ




Apa yang sesungguhnya terjadi pada dunia jurnalisme kita, saat ini? Terbelah secara tajam dan sarkastis, bahkan mengarah ke konflik. Tidak ada lagi penghargaan terhadap ‘profesi agung dan mulia’ bernama wartawan; etika jurnalistik hanya bahasa di ‘langit’, kode etik dibuang ke tong sampah; nilai berita diinjak; jurnalisme tidak memiliki nilai setitik pun!
 

Bill Kovach dan Tom Rosentiels mengemukakan bahwa ada sembilan elemen dasar jurnalisme

  • Kewajiban utama jurnalisme adalah pencarian kebenaran.
  • Loyalitas utama jurnalisme adalah pada warga negara.
  • Kebenaran dan keberpihakan pada warga yang merupakan buah dari disiplin dalam melakukan verifikasi fakta.
  • Jurnalis harus menjaga indepedensi dan objek liputannya.
  • Memantau kekuasaan dan menyambungkan lidah yang tertindas.
  • Jurnalisme harus memberi forum bagi publik untuk saling kritik dan menemukan kompromi.
  • Jurnalisme harus memikat dan relavan.
  • Kewajiban jurnalis adalah menjadikan beritanya proporsional dan komprehensif.
  • Jurnalis diperbolehkan untuk mendengarkan hati nuraninya.

BAB1
INDIKATOR KERUNTUHAN JURNALISME

  1. Jurnalisme Bias

Harus diakui kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo unik dan fenomenal. Kepemimpinan yang ditampilkan berbeda dengan mayoritas kepemimpinan yang ada. Jokowi menyapa rakyat; mendengar keluh kesah kaum dhuafa; menyerap aspirasi wong cilik. Setelah menyapa, mendengar dan menyerap aspirasi, Jokowi langsung mengambil kebijakan dan merealisasikan keluhan masyarakat bawah tersebut. Jokowi memiliki kepemimpinan transformatif, kepemimpinan yang mentransformasikan sikap, gagasan, dan perilaku. Kepemimpinan yang memberi rakyat atau bawahannya aspirasi.
Menurut teori jurnalistik, unik dan memilikikeluarbiasaan merupakan dua poin dari news values. Liputan media tentang Jokowi meningkat drastis, disebabkan semua media mainstream ada di Ibu Kota. Karena memiliki banyak nilai berita, Jokowi selalu dikejar media. Ia pun memperoleh citra dan pencitraan positif selama 24 jam secara gratis! Pembelaan yang sama diberikan media kepada Jokowi ketika menjalankan program yang sensitif dan tidak biasa seperti lelang jabatan lurah dan camat, penggusuran di bantaran Waduk Pluit, pembersihan Pedagang Kaki Lima di Tanah Abang, terakhir penggusuran warga di bantaran Waduk Ria Rio di Pulomas. Tidak ada media yang memberitakan dari perspektif korban. Semuanya koor “setuju” dengan kebijakan Jokowi. Seolah-olah tidak ada angle berita yang lain. Padahal dari sudut jurnalistik penderitaan, deskripsi atau statement dari objek/penderita jauh lebih menarik daripada kebijakan. Di sisi lain, media tidak menyentuh kebijakan Jokowi yang menimbulkan kesemrawutan. Dalam konteks inilah bius keunikan dan kehebatan Jokowi menimbulkan bias media. Di hadapan Jokowi, media sudah bersikap tidak adil; meninggalkan karakter kekritisannya; menjadi ‘anak mama.’ Media lupa fungsi utamanya sebagai watchdog (kontrol terhadap kekuasaan). 
  
2. Jurnalisme dan ‘Amplop Besar’

Percepatan dan kecepatan sudah merasuk ke semua aspek kehidupan manusia, termasuk berita dan jurnalisme. Di sinilah lidah api kapitalisme menyambar dan membakar jurnalisme. Berita sebagai unsur atau pilar pokok atau inti dari jurnalisme menjadi komoditas. Dengan menjadi komoditas berita telah kehilangan elan vitalnya. berita hanya sebagai alat untuk menghasilkan keuangan, bukan lagi sebagai memproduksi wacana yang mencerahkan; pembangun kesadaran masyarakat; atau lainnya yang mencerahkan kehidupan. Berita buruk atau berita pesanan pun jadi yang terpenting laku dijual; menghasilkan laba; perusahaan untung hasilnya adalah manipulasi informasi untuk kepentingan masing-masing kelompok. Bukan hanya memberi keuntungan finansial tetapi juga memiliki agenda terselubung.
Pengusaha media adalah pengusaha yang bukan orang sabar dalam berinvestasi jangka panjang tetapi yang mencari keuntungan secepatnya dengan memanfaatkan kedekatan dengan kekuasaan. Untuk dekat kekuasaan politik perlu memiliki dalam bentuk kekuasaan lain. Kekuasaan lain yang sangat kuat adalah media. Oleh sebab itu, jika kekuasaan politik dan media bersatu, beersinergis, maka uang dengan sendirinya akan mengalir. Inilah yang disebut dengan amplop besar. Masyarakat sebagai konsumen berita dipaksa ikut dalam pemilihan berita tersebut. Selayaknya masyarakat mendapat sajian jurnalisme yang bermutu tanpa menghilangkan kepentingan politik media tersebut.

3. Jurnalisme dan Budaya Copy Paste

Dalam konteks jurnalisme, percepatan dan kecepatan produksi berita telah mengubah alur berita dan kinerja bagi kru redaksi dan hasil berita bagi masyarakat. Berita yang harus berangkat dari kejadian atau peristiwa yang semula baru bisa dinikmati esok harinya melalui surat kabar, kini berubah dramatis dan drastis. Semua media, khususnya online berlomba menyajikan yang terbaru dan kesegeraan. Berita yang diambil wartawan media konvensional dari media sosial nyaris tanpa verifikasi  tetapi langsung dicomot; langsung diunggah di situs berita tanpa peduli dengan validitas. Dengan demikian, internet telah menghadirkan berita sama hanya beda waktu pengunggahannya, bukan beda substansi yang seharusnya ada dalam setiap berita.
Di sisi lain, kemajuan teknologi juga mengakibatkan wartawan menjadi pemalas. Untuk apa memverifikasi fakta, mengejar narasumber yang kualifaid, dan mendatangi tempat kejadian perkara jika semua persyaratana kejadian menjadi sebuah berita bisa diselesaikan melalui teknologi komunikasi dan informasi. Justru sebaliknya, mbah google yang seharusnya bisa dijadikan partner dan bantuan untuk mempermudah riset untuk memperkaya berita dengan data dan fakta dalam membangun wacana tidak pernah diajak dialog dan kerja sama. Berita pun menjadi tidak variatif dan kering makna. Aspek negatif lain dari budaya copy paste adalah menumpulkan sense of news. Semakin lama di lapangan kian banyak pengalaman, kian tajam mengendus berita. Sebaliknya, wartawan yang hanya mengandalkan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi akan kehilangan kreativitas.

  4. Jurnalisme Pembuat Heboh

Salah satu pembentuk konstruksi realitas di dunia modern adalah media massa. Media massa menjadi variable yang sangat substantif dalam proses eksternalisasi, objektivikasi, dan internalisasi. Realitas yang dibangun media massa tersebut membentuk opini publik, massa cenderung apriori dan opini massa cenderung sinis. Dengan demikian, berita sebagai hasil konstruksi media massa terhadap suatu peristiwa yang dijadikan acuan khalayak bukan realitas yang sebenarnya.
Sebuah berita di satu media, khususnya surat kabar bukan hanya rangkaian fakta yang tersususn menjadi sebuah kalimat dan paragraf. Melainkan representasi dari pikiran dan sikap penulis (reporter) dan asisten redaktur serta redaktur (editor). Minimal segala latar belakang budaya, pergaulan, dan pendidikan wartawan sangat mempengaruhi bagaimana fakta dikonstruksi dalam sebuah berita. Semua yang disajikan media kepada khalayak mengandung kepentingan dan nilai dari lembaga media tersebut. Munculnya kepentingan bukan hanya pada wacana yang disajikan tetapi juga pada penempatan dan pembingkaian (framing) berita dalam sebuah surat kabar. Tidak semua peristiwa bisa dibuat berita. Reporter hanyalah mencari fakta dari sebuah peristiwa, sedangkan editor hanyalah merapikan berita. Keputusan pemuatan berita ditentukan oleh kebijakan redaksi yang tercermin dalam rapat redaksi.
Kemunculan media akses yang berbasis internet kian mempertajam efek media. Kehadiran internet di telepon selular kian mempertegas dominasi kecepatan informasi melalui internet. Harus diakui internet menciptakan kebebasan individu berpendapat, berekspresi dan berserikat tanpa ketakutan. Dari situasi dan kondisi ini kontrol etika dan moral mengendur. Oleh sebab itu, kehadiran internet harus diterima dengan afirmasi kritis.


5.  Jurnalisme Tanpa Konfirmasi
Berdasarkan hasil survei Cirus Surveyors Groups dan Indonesia Indikator 20 November-30 Desember 2013 terdapat missing point dalam penyerapan aspirasi rakyat oleh partai politik dan media. Misalnya, rakyat menginginkan perbaikan atau adanya jalan baru. Media tidak (minim) mewacanakan masalah tersebut. Media lebih memilih memberitakan politik. Dengan kata lain ada yang tidak nyambung/connect. Semua media akan berlomba menyajikan berita korupsi dengan beragam cara sehingga meningkatkan minat pembaca, pemirsa dan pendengar. Yang paling ketara dalam bisnis korupsi di media adalah berita tanpa konfirmasi. Sebuah berita korupsi, yang dimuat media mau tidak mau, suka tidak suka harus ada konfirmasi.
Apa itu verifikasi data? Kovach dan Rosentiels mengatakan:
·        Wartawan jangan menambah atau mengarang apapun
·        Jangan menipu  atau menyesatkan pembaca, pemirsa maupun pendengar, bersikaplah setransparan
·        Sejujur mungkin tentang metode dan motivasi
·        Bersandarlah terutama pada reportase sendiri
·        Bersikaplah rendah hati

Secara kasat mata mereka tidak melakukan lima hal tersebut. Justru sebaliknya, wartawan melabrak lima ketentuan ‘suci’ jurnalisme tersebut tanpa malu dan risih. Oleh sebab itu, verifikasi fakta secara ketat dan akurat menjadi fardhu ‘ain hukumnya. Hanya dengan inilah media akan menemukan dan mengemukakan kebenaran yang merupakan elemen jurnalistik utama dari sembilan elemen milik Kovach dan Rosentiel.
  
6. Jurnalisme, Adakah Etika?

Di kalangan penggiat jurnalisme dikenal doktrin, bahwa media boleh bersikap melalui opini yang tertera di rubrik editorial atau tajuk rencana. Menurut pakar komunikasi Ibnu Hamad, ada tiga strategi yang digunakan media untuk membuat wacana. Yaitu, signing, framing dan priming. Signing adalah penggunaan tandda-tanda bahasa, baik verbal maupun nonverbal. Framing adalah pemilihan wacana berdasarkan pemihakan dalam berbagai aspek wacana. Priming adalah mengatur ruang atau waktu untuk mempublikasikan wacana di hadapan khalayak.
Jurnalisme harus tetap berpijak pada prinsip kebenaran, independensi, check and balance, cover all (multi) sides, verifikasi fakta, dan keberpihakan pada yang lemah. Etika jurnalisme berfungsi untuk menjamin media memproduksi jurnalisme yang berkualitas dan publik pun mendapat informasi yang sehat dan mencerahkan.

BAB II
PENYEBAB KERUNTUHAN JURNALISME

  1.  Postmodernisme

Dalam setiap pergantian era atau narasi kehidupan manusia selalu menimbulkan dan ditandai dengan kontroversi. Era postmodernisme siap mengambil alih pemegang tampuk peradaban manusia selanjutnya. Postmodernisme dikecam; dicap keranjang sampah; dilabeli sebagai gerakan antimetode; pemikiran sempalan dan sebagainya. Istilah postmodernisme pertama kali diapung oleh Frederico di Onis pada 1930-an dalam karyanya Antologia de la Poesia Espanola a Hispanoamericana. Menurutnya, fase postmodernisme ditandai dengan gejolak, perang, revolusi yang menimbulkan anarki, runtuhnya rasionalitas dan pencerahan.
Postmodernisme merupakan gerakan kontemporer. Oleh sebab itu, postmodernisme yang dianggap antitesis modernisme bukan saja proyeksi culture studies tetapi juga keniscayaan yang selalu mengelilingi dunia kita. Dari sudut istilah postmodernisme mengandung masalah. Ia menyimpan ambiguitas dan ketidakjelasan sosok. Singkat kata postmodernisme merupakan segala bentuk refleksi kritis atas segala paradigma-paradigma modern dan metafisika pada umumnya.
Secara sederhana ajaran pokok postmodernisme terdiri dari  5 yaitu:
·        Pertama, menolak universalitas. Menurut kaum postmodernisme tidak ada konsep yang bisa dipakai untuk semua umat manusia.
·        Kedua, menolak ideology. Bagi kaum postmodernisme ideology yg ada, seperti liberalisme, kapitalisme, dan ideology agama adalah palsu dan menyimpan kepentingan, khususnya kekuasaan.
·        Ketiga, menolak obyektivikasi. Bagi kaum postmodernisme menolak satu alat ukuran kebenaran bernama objektivikasi.
·        Keempat, mengkritik semua jenis sumber pengetahuan. Prinsip kepastian dan sebab akibat, misalnya diingkari dengan dalih bersifat relaif.
·        Kelima, menolak metodologi yang tetap dan pasti. Bagi kaum postmeodernisme, berbagai metodologi dan perangkat berfikir yg tersedia hanyalah salah satu bukan kepastian dan keharusan mengikuti metodologi yg ada.
Karakteristik mpostmodernisme mengutip Lyotard, Ahmed, mengatakan ciri-ciri postmodernisme adalah memiliki keraguan terhadap metanaratif. Cara yang paling sederhana mengenal postmodernisme adalah mengetahui ciri-cirinya. Sementara itu, dalam tataran praktis, Burhan Bungin mengidentifikasi beberapa ciri masyarakat postmodernisme.Ia menyebutkan lima ciri yaitu Pertama, memiliki pola hidup nomaden. Kedua, secara struktur mereka berada pada titik nadir. Ketiga, lebih suka menghargai privasi sehingga memunculkan sikap aneh-aneh dan unik. Keempat, kehidupan yang bebas membuat masyarakat postmodernisme menjadi sekuler dan liberal. Kelima, pemahaman yang bebas pula menyebabkan mereka cenderung mengadakan gerakan back to nature, back to village,back to religi, dan sebagainya.
 Tokoh
Ø Jean Francois Lyotard (10 Agustus 1924 - 21 April 1998). Lyotard dianggap sebagai pentolan postmodernisme nomor wahid. Inti gagasan Lyotard adalah runtuhnya narasi-narasi besar yang selama ini diusung kaum modernisme.
Ø Jacques Derrida (15 Juli 1930 - 9 Oktober 2004). Gagasan pokok Derrida adalah dekonstruksi. Dekonstruksi adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menerangkan lembaran baru dalam filsafat, strategi intelektual, atau model pemahaman
Ø Michael Foucault (15 Oktober 1926 - 25 Juni 1984). Gagasan dasar Foucault adalah tentang hubungan pengetahuan dan kekuasaan. Baginya, kekuasaan dan pengetahuan ibarat dua sisi mata uang yang sama (two sides of the same coin).
Ø Jean Baudrillard (27 Juli 1929 - 6 Maret 2007). Jean Baudrillard mengkaji dalam dimensi postmodernisme yang nyata, yaitu kebudayaan.

2.     Cultural Studies
Cultural studies pertama kali muncul di Birmingham, Inggris melalui Birmingham Centre for Contemporary Cultural Studies sekitar 1950an. Perintisnya adalah Richard Hoggart dan Raymond Williams. Namun, cultural studies menemukan kejayaannya di tangan Stuart Hall. Sebagai perbandingan tentang sejarah kelahiran culture studies lain dari Richard West-Lynn H. Turner.
Salah satu pemicu munculnya cultural studies adalah kegagalan teori Karl Marx. Kegagalan tersebut akibat ketiadaan revolusi disebabkan kelas pekerja kooptasi oleh media yang secara efektif mendukung sistem kapitalisme. Bagi cultural studies, media sebenarnya memiliki potensi untuk meningkatkan kesadaran penduduk tentang isu-isu kelas, kekuasaan, dan dominasi. Media dianggap sebagai arena pertarungan dari berbagai kelas yang ada, baik kelas dominan maupun subordinat.
Cultural studies merupakan kritik atas definisi budaya yang mengarah pada “the complex everyday world we all ecounter and through which all move. Dua batasan yang dapat memberikan penjelasan tentang konsep ini. Pertama, adalah ide umum di mana masyarakat atau kelompok memahami ideologinya, atau cara-cara kolektif yang digunakan suatu kelompok untuk memahami pengalamannya. Kedua,budaya dimengerti sebagai praktik-praktik atau keseluruhan cara hidup suatu kelompok apa yang dilakukan individu secara material dari hari ke hari. Dalam cultural studies, proses pemahaman realitas ini ditimbulkan oleh banyak sumber ini dinamakan sebagai artikulasi.
Semua asumsi dasar dalam kajian budaya diwarnai oleh pemikiran marxis. Ada dua pengaruh penting dari marxisme terhadap kajian budaya yang pertama, untuk memahami makna kebudayaan. Kedua, kajian budaya mengasumsikan bahwa masyarakat industri kapitalis merupakan masyarakat yang terbagi-bagi secara tidak adil dikalangan etnik, gender, generasi, dan kelas.
Ciri utama cultural studies adalah menempatkan teori kritis sebagai basis analisis. Pengertian teori kritis disini mencangkup metode metadisplin (semiotika, filologi, hermenitika) dan post-discplinary (mengabaikan ilmu alat ketika analisa dirasakan telah mencapai upaya membangun teori baru) Kajian cultural studies berfokus pada pesan actual atau wacana komunikasi.
Tokoh Kunci Claude Shannon, Norbert Wiener, Harold D. Lasswell, Kurt Lewin, Carl Hovland, dan Paul F. Lazarsfeld sebagai perintis. Ada juga Wilbur Schramm yang menginstitusionalkan ilmu komunikasi. Karena hampir semua tokoh berasal dari Amerika, lumrah bila ilmu komunikasi pada awalnya pragmatis-positivistik.  Salah seorang tokoh yang gencar mengkritik asumsi-asumsi dasar tersebut adalah Hall. Pada titik ini, Hall bukan berperan sebagai perintis atau pelembaga sebuah ilmu, ia berperan sebagai “pembongkar” ilmu.Birmingham centre memperlakukan media sbg fenomena yg mendasar ideologis dan peeka terhadap konteks cultural. Interaksi antara audients, pesan media, komunikator, dan budaya sangatlah kompleks dan hanya bisa didekati dgn metode etnografi yang melalui interpretasi, interview kualitatif, dan observasi.
BAB III
Kemunculan Jurnalisme Baru
A.   Jurnalisme dan Citizen Journalism
Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi memberikan kemajuan dalam salah satu aspek kehidupan manusia, khususnya dalam berbagi informasi sesama anak manusia. Melalui internet, kini, semua orang bisa menjadi wartawan. Profesi ‘agung’ yang selama ini milik mereka yang mencari berita untuk kepentingan media populer dengan istilah citizen journalism. Citizen journalism merupakan gagasan yang ditemukan Jay Rosen, Pew Research dan Poynter Institute. J.D. Lasica, memaparkan jurnalisme warga ke dalam lima tipe. Yaitu, situs web berita atau informasi independen, situs berita partisipatoris murni, situs media kolaboratif, bentuk lain dari media tipis dan situs penyiaran pribadi.
Menurut burn (news blogs and citizen journalism) laporan warga memiliki tiga kelebihan dibandingkan dengan berita media massa tradisonal. Yaitu, laporan warga adalah yang pernah melaporkan tentang kejadian perkara (TKP). Kedua, tulisan warga tentang suatu peristiwa yang dipublikasikan menjadi bacaan alternatif bagi masyarakat. Ketiga, jurnalisme warga bisa diakses 24 jam sehari dan tujuh hari satu minggu. Oleh sebab itu, semakin banyak jurnalisme warga kian baik perkembangan informasi yang diperoleh masyarakat.
Sekali lagi komunikator pada komunikasi massa (yang bernama institusi media tradisional) tidak mau kehilangan kapital, pengaruh, dan penghasilan dalam mentransfer pesan komunikasi. Dengan kekuatan finansial, nama besar, dan organisasi professional, mereka dengan cerdas menyediakan ruang dan sarana bagi masyarakat untuk berbagi informasi sbg tanddingan dari jurnalisme warga. Maka munculah kompasina (milik kompas), citizen journalism republika(Republika), blogtempo(tempo), forumdetik (detik.com). dan sebagainya.

B.   Jurnalisme dan Ideologi
Ideologi memiliki karakteristik yakni adanya keyakinan, gagasan, kelompok tertentu, pandangan menyeluruh, polotik dan bersifat publik. Karena itulah ideologi kerap disandarkan dengan kekuasaan dan budaya politik tertentu.
Untuk negeri ini, ideologi Pancasila dan ideologi pembangunan digunakan rezim Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaan. Selama 32 tahun ideologi Pancasila menjadi tameng untuk melawan kelompok yang tidak setuju dengan sistem dan kebijakan Soeharto. Ideologi memiliki dua sisi, dalam perspektif teoritis, ideologi sangat idealnormatif. Namaun pada sisi praktis (historis-sosiologis) ideologi menyimpan wajah seram dan kejam. Dalam ideologi terdapat tiga aspek yaiyu, kepercayaan, proyeksi sosial dan relasi sosial. Ekspresi dari proyeksi sosial bagi bagi pekerja di dunia jurnalistik salah satunya adalah tulisan (teks berita). Dengan demikian, setiap teks berita mengandung ideologi penulis dan editornya. Tulisan inilah yang membangun dalam relasi sosial antara pekerja di media dengan masyarakat.
Kemunculan media massa yang berbasis internet kian mempertajam efek media, di satu sisi, dan memperkuat kontrol masyarakat terhadap kekuasaan. Meski akurasi informasi pada media akses masih perlu diuji, tetapi dalam ranah kecepatan penyebaran informasi, internet adalah nomor wahid. Kehadiran internet di telepon selular, misalnya, kian mempertegas dominasi kecepatan informasi melalui internet. Selain kecepatan berita, internet juga menumbuhsuburkan jejaring sosial (facebook, twitter, dan grup-grup yang berlandaskan hobi, profesi dan kesamaan nasib).

C.   Jurnalisme dan Konvergensi Media
Konvergensi adalah perubahan teknologi, industri, budaya, dan sosial dalam lingkaran media termasuk didalamnya budaya kita. Beberapa gagasan mendasar dari konvergensi antara lain konten media mengalir ke beberapa platform media yang berbeda. Konvergensi media mengacu pada sebuah situasi dimana berbagai sistem media hidup berdampingan dan isi media yang mengalir melintasi batas.
Selain sebagai media akses, internet juga kerap disandingkan sebagai konvergensi media dan media internal. Kini, hampir semua media cetak dan elektronik membarengi dengan bentuk media online. Dengan kata lain, internet yang semula diprediksi menjadi hantu penghancur media cetak, kini justru menjadi dewa penyelamat. Berarti digitalisasi media cetak adalah salah satu bentuk konvergensi media.
Model jurnalistik interpretatif ini banyak dikembangkan dimedia cetak, surat kabar, khususnya. Strategi interpretasi ini merupakan cara untuk berbeda dengan berita online yang terlebih dahulu hadir. Artinya, beritanya sama tetapi interpretasinya berbeda.
Model jurnalistik interpretative sudah tidak menggunakan pola piramida terbalik dalam menyajikan berita dan konstruksi 6W + 1H (What, Who, Why, Where, When, What Next dan (How). Makanya polanya bukan 6W +1H, tetapi matriks 6W +1H (Dijelaskan dalam sub-bab jurnalisme dan pencarian core meaning).

D.   Jurnalisme dan Krisis Berita
Yang tersisa dari berita dalam era internet adalah medan yang sudah dikuasai dengan baik dan pertempuran menangguk untung dan kompetisi isi berita yang akan terus berlangsung pada masa mendatang. Justru, kabar terbaru dunia akan terus-menerus datang dari media sosial seperti Fb, Twitter; jejaring terbuka yang memudahkan warga berbagi informasi secara langsung, luas, dan dalam paket yang mudah diakses.
Konektifitas global akan menghadirkan kontributor baru dalam rantai pasokan. Ada subkategori yang muncul, yaitu jejraing pakar enkripsi teknis daerah, yang hanya mengurusi kunci enkripsi. Perannya dlam jurnaslisme tak terkait konten atau sumber tetapi menyediakan mekanisme kerahasiaan yang penting diantara berbagai pihak.
E.    Jurnalisme dan Media Baru
Jurnalisme menjadi pilar keempat demokrasi pada abad ke-18 dan 19 ia menjadi bagian tak terpisah dari kemuncul suatu system social dan politik yg lebih demokratis di eropa dan amerika utara. Sementara itu. Jurnalisme cetak mulai hidup sbg sebuah bisnis, bisnis menjual berita setelah ia berubah menjadi wahana, ideology, opini dan politik.        Menurut Jurgen Habermas (1989) dalam Transformasi Struktual Ruang Publik, terjadi berbagai pergeseran sejarah dalam jurnalisme: perdagangan berita yang dikembangkan dari sistem korespondensi pribadi dan untuk penerbit lama. Kemudian ia dikumpulkan dan diorganisir bernama berita untuk keuntungan sederhana.
Perkembangan jurnalistik selanjutnya adalah ia sebagai perusahaan komersial yang berkembang sekitar pertengahan abad  ke-19 di Eropa Barat. Ini dipicu oleh munculnya kebebasan sebagai salah satu hak konstitusional dan kemunculan iklan menjanjikan pengembalian investasi, pada sisi yang lainnya. Akibat dari pola ini menurut Habermas, pers menjadi kurang partisan dan memungkinkan untuk berkonsentrasi pada peluang bisnis. Habermas sambil mengutip Blicher melanjutkan, dalam keadaan ini kertas merupakan karakter suatu perusahaan yang menghasilkan ruang iklan sebagai komoditas yang dibuat berharga melalui bagian editorial.
Krisis Jurnalistik
Menurut Tood Gitlin (2009), meskipun dalam konteks tahap saat jurnalisme, ia berpendapat dalam kondisi seperti ini istilah ‘krisis’ yang sangat tepat. Gitlin menunjukkan kondisi krisis jurnalisme ini dengan mengidentifikasi 5 indikator Yaitu:
*    Jatuhnya sirkulasi.
*    Jatuhnya pendapatan advertising.
*    Difusi perhatian.
*    Krisis yang berwenang.
*    Ketidakmampuan atau keengganan jurnalisme mempertanyakan struktur kekuasaan semua berkontribusi untuk membawa krisis yang mendalam jurnalisme.

Waktu dan Jurnalisme
Castells (2000) membahas tentang cara dimana media baru mengubah konsepsi tentang waktu. Ia mengembangkan gagasan waktu abadi, sebagai cirri dari masyarakat jaringan. Waktu adalah abadi justru karena tidak bisa lagi dibagi, diukur, dan terkotak kedalam slot tertentu. Dalam masyarakat jaringan, waktu sedang berlangsung, terus menerus sebagai ritme adalah 24/7.
Internet Dan Jurnalisme
Disisi lain, teori ini mengatakan internet adalah solusi untuk krisis ini. Jo bardoel (2002) menggangap internet akan mengarah pada pengembangan jenis baru jurnalisme, jurnalisme online, yg akan membuat penggunaan efektif atribut utama internet, yg menyebabkan pembaharuan jurnalisme. Interaktifitas, multimodality, hyperlink, dan sifat asynchronous berita dan informasi online,menawarkan kemungkinan baru bagi jurnalisme. Atribut ini memungkinkan jurnalisme untuk memperpanjang dalam ruang, dalam kedalaman dan luasnya melalui hyperlink dan hypertext



F. Jurnalisme dan Pencarian Core Mining
Komunikasi mengenal 2 madzhab, Yakni aliran penyampaian pesan (madzhab transmisi) dan aliran pertukaran makna (madzhab semiotika). Ungkapan Harold Laswell who, says what, in which channel, to whom, with what effect (siapa mengatakan apa melalui saluran kepada siapa dengan efek apa) adalah yang menandaskan tentang aliran perpindahan pesan ini.
Kalau dalam komunikasi madzhab transmisi elemen pokoknya adalah komunikator, pesan dan komunikan. Sedangkan dalam madzhab semiotika yang menjadi elemen dasarnya adalah author (pengarang), teks budaya, dan reader (pembaca).
Langkah yg disebutkan dibawah ini merupakan reformasi dari model jurnalisme yg hanya berada pada madzhab penyampaian pesan. Dgn demikian berita yg dikontruksi model dibawah ini sekedar tranformasi pesan, tetapi menyangkut pada pertukaran makna antara, khususnya wartawan dan khayalak.
Ada pun langkah yg harus ditempuh untuk menghasilkan makna antara lain.
1)    Wartawan (reporter, kameramen, editor, redaktur, produser) harus mengerti isu yg ingir.
2)    Setelah memahami masalah dan isu langkah selanjutnya adalah membuat lead (kepala berita) atau intro artikel yang dan memikat dan bisa jadi pengantar untuk pembaca supaya tertarik membaca lebih lanjut.
3)    Buatlah skala, harus mengukur atau menghitung apakah hal tsb pertama kalinya terjadi dalam 10 tahun atau 100 tahun terakhir.
4)    Perluas cerita, yakni dengan memberikan contoh-contoh yg lebih luas atau atau kejadian yg seperti itu.
5)    Berilah kutipan yang menarik.
6)    Berikan latar belakang dan nama awal masalah atau perkembangan selanjutnya
7)    Berilah kutipan singkat dengan menerangkan sisi ilmiah
8)    Pastikan antar paragraph tidak saling menegasikan dan meninggalkan harus ada kesinambungan
9)    Posisikan kita sbg pembaca jangan sbg pembuat berita dan jujur.
10) Angka tidak menunjukan apa-apa
11)  Down to earth dan tidak bersentuhan dengan pembaca.
12)  Pastikan ada core meaning (makna inti) yg akan menghasilkan public meaning (makna untuk publik) yg ingin disampaikan di sebuah berita.
13)  Cover all (multi) sides, bukan cover bath sides
14)  Baca lagi tulisan yang sudah rampung dan selesai.

F.    Jurnalisme dan Pertukaran Makna
Berita adalah tulisan, tayangan, atau siaran tentang fakta dari satu peristiwa atau kejadian yang dimuat atau disiarkan oleh media massa dengan menggunakan konstruksi 5W +1H ( What, Why, Who, Where, dan When serta How). Makna terjadi karena ada tanda. Ada tiga jenis makna dalam sebuah proses komunikasi Yaitu, makna si penutur, makna bagi si pendengar, dan makna tanda (sign meaning) yang melekat pada tanda itu sendiri.
Proses 5W+1H kini berkembang menjadi 6W+1H dengan penambahan W keenam what next. Prinsip ini berkembang seiring dgn maraknya media online yg mengejar kecepatan penayangan/pemuatan sebuah peristiwa. Meski demikian, what next sesungguhnya tidak terlalu prinsipil terutama untuk media cetak yg seharusnya sudah memiliki tidak mengejar kecepatan, tetapi kedalaman dan deskripsi fakta.
G.   Jurnalisme Interpretatif
Seperti dikemukakan dalam beberapa tulisan sebelumnya, kehadiran internet sebagai pemicu munculnya situs berita (jurnalistik online) telah menggeser model pemberitaan dimedia cetak, khususnya surat kabar. Semua peristiwa actual yg sebelumnya digarap surat kabar, kini menjadi konsumsi media online. Bahkan jurnalistik online pun harus berebut berita dengan media social seperti twitter untuk menyajikan berita paling actual, bahkan masih dlam penggorengan.
Seperti dikemukakan dalam beberapa tulisan sebelumnya, kehadiran internet sebagai pemicu munculnya situs berita (jurnalistik online) telah menggeser model pemberitaan di media cetak, khususnya surat kabar. Dibawah ini disajikan contoh model jurnalisme interpretatif dalam kasus dugaan suap yang melibatkan Ketua SKK Migas Rudi Rubiandini. Ia menjadi headline empat koran, Rabu 14 Agustus 2013. Keempat koran nasional tersebut adalah Koran Tempo, Koran Sindo, Kompas, dan Media Indonesia.

H.   Jurnalisme, Agama, dan Pertanggungjawaban
Agama memiliki dua peran mulia, privat dan publik. Dibutuhkan garis pemisah yang tegas dari dua wilayah tersebut. Pemisahan ini menjadikan Negara tidak salah peran. Dimensi kenyakinan dan ritual yang sangat subjektif adalah mutlak milik pribadi. Sedangkan dimensi moralitas, interaksi sosial, dan pengembangan masyarakat masuk diwiilayah publik. Padahal, agama adalah problem solver masalah-masalah kemanusiaan.
Kebangkitan agama di wilayah publik menurut Peter Berger (1999) sebagai desekularisasi dunia atau deprivatisasi agama. Agama publik kata Jose Casanova lebih memberi nilai positif  bagi pengembangan masyarakat daripada agama sebagai urusan privat yang kering makna dan tuna akselerasi moral.
Pertanggungjawaban
Adalah duambahnya jurnalistik, Bill Kovach dan Tom Rosentiels, yang mendeklarasikan elemen utama jurnalisme adalah pada pencarian kebenaran. Ironisnya kebenaran adalah sesuatu yang abstrak dan sulit untuk didefinisikan, bahkan cenderung kontroversial. Makanya untuk menghindari multitafsir tentang kebenaran yang disodorkan, Kovach dan Rosentiels, menambahkan elemen kedua jurnalistik adalah loyalitas utama jurnalisme adalah pada warga Negara.
Untuk menghindari ketidakjelasan dua elemen diatas, Kovach dan Rosentiels menambahkan elemen ketiga yang lebih konkret, yaitu disiplin dalam melakukan verivikasi fakta. Ada lima item indikator dalam verifikasi fakta, Yaitu: wartawan jangan menambah atau mengarang apa pun, jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar, bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi, bersandarlah terutama pada  reportase sendiri, dan bersikaplah rendah hati. Tiga elemen yang dikemukakan diatas merupakan bagian dari Sembilan elemen yang dikemukakan Kovach dan Rosentiels.

Pers Pancasila
Menurut pencetus teori pers pancasila, Anwar Arifin, teori ini memiliki beberapa cirri khas.
1.    Bersandar dan memiliki falsafah dasar sebagaimana Negara kita, pancasila.
2.    Pancasila adalah jembatan di antara semua teori pers.
3.    Perbedaan pada persoalan pertanggungjawaban.
Pancasila dengan tiga karakteristik yg sudah dikemukakan di atas. Penulis optimis dengan jika pekerja pers indonesia memegang teguh prinsip-prinsip dasar teori pers indonesi, otomatis Sembilan elemen jurnalistik yang dikemukakan kovach telah dilakukan.













       

Komentar